Ummi, Ana Uhibbuki Fillah

Image

        “Wahai Rasulullah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Seru Umar Bin Khattab RA. terhadap Rasulullah. Padahal, beberapa detik yang lalu Umar berkata bahwa ia mencintai rasulullah lebih dari segala sesuatu kecuali dirinya sendiri. Sebuah pernyataan yang sangat cepat untuk dikoreksi bahkan oleh manusia sekaliber Umar sendiri. Padahal kita yakin Umar jelas bukanlah seorang pembohong.

Dari potongan kisah tersebut ada sesuatu yang dapat kita petik sebagai suatu pelajaran. Umar memiliki pemahaman untuk menempatkan ‘cinta’ sebagai kata kerja, bukan kata benda. Efeknya? Beliau mampu menempatkan cinta sesuai tempat dan porsinya. Begitulah yang dikemukakan oleh Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul “Jalan Cinta Para Pejuang.” Sebuah alasan yang sangat logis mengapa beliau dengan begitu mudahnya mengubah pernyataan di atas. Pun sebenarnya juga begitu yang harus kita miliki dan lakukan. Dengan keyakinan yang kokoh, jalan cinta kitapun dapat menyamainya.

Menempatkan cinta sebagai kata kerja supaya ketidakadaan cinta bukan menjadi suatu alasan untuk kita tidak mencintai keluarga, teman, atau bahkan saudara yang tidak memiliki hubungan darah sekalipun. Karena dengan prinsip itu cinta bak tanaman yang langsung tumbuh dengan sekejab mata bahkan tanpa menyemai.

Prinsip yang sama yang selalu saya pegang dalam mengarungi bahtera kehidupan yang penuh godaan dan cobaan ini. Menarik, karena dari sekian milyar definisi cinta yang dikemuakan oleh ahli cinta sekalipun hanya milik Umarlah yang cukup menyita perhatian saya. Sebuah prinsip yang menurup hemat saya merupakan pondasi yang kuat tentang bagaimana kita meletakkan cinta. Termasuk dalam proses menyemai cinta itu sendiri.

Berbicara mengenai bagaimana menyemai cinta, tiba-tiba ada sekelebat memori yang ada dikepala mencuat meminta untuk diceritakan. Pengalaman manis asam asin selepas lulus SMP dulu sampai sehabis wisuda sekarang. Walaupun bukan termasuk anak yang dilahirkan di keluarga broken home, sejak lulus SMP sampai lulus kuliah sekarang saya sudah terbiasa terpisah dari kedua orang tua. Sebuah kondisi yang tidaklah mudah bagi pemuda seumuran saya waktu itu. Ditengah teman sebaya yang harmonis dalam kebersamaan dengan keluarganya, saya harus terpisah dengan orang tua untuk melanjutkan study ke luar kota. Desakan ekonomi yang menghimpit waktu itu memaksa saya untuk memenuhi tawaran saudara untuk bersekolah bersamanya.

Dengan kondisi terpisah dengan keluarga, otomatis memangkas habis intensitas komunikasi dengan keluarga terutama dengan ummi. Apalagi pada seumuran itu saya merasa masih membutuhkan berton-ton kasih sayang dan belum cukup umur untuk mandiri dan hidup berpisah dengan ummi. Kondisi ekonomi yang sulit membuat komunikasi lewat telefon kabelpun juga sulit dilakukan. Alhasil, Intensitas pertemuan hanya bisa dilakukan ketika liburan semester tiba, dan itupun hanya setiap enam bulan sekali. Sebuah kondisi yang tidaklah mudah.

“Bukan ibu namanya jika tidak dirindukan setiap anaknya.” Sebuah pernyataan yang cocok untuk para ibu yang tulus mencintai anak-anaknya. Begitupula dengan ummi saya. Waktu dua minggu dirumah setiap setengah tahun sampai hampir lebih dari tujuh tahun belakang, membuat kebersamaan yang ada tidak pernah kami sia-siakan. Kami, terutama dengan ummi, selalu menghabiskan waktu bersama. Beliau selalu memberikan kasih sayang yang tulus. Kasih sayang yang selama di daerah perantauan jarang saya terima.

Dari sekian banyak momen berharga saya dengan ummi, saya selalu tidak pernah melewatkan bagian ketika ummi memasakkan masakan favorit anaknya ini. Mungkin tidak hanya saya, setiap anak yang ingin pulang kerumah selalu merindukan, salah satunya, masakan dari umminya. Begitupun saya. Terlahir sebagai ibu rumah tangga dengan bakat memasak yang luar biasa, membuat ummi selalu membuatkan masakan-masakan istimewa setiap saya pulang ke rumah. Mungkin beliau lebih berbakat dari juara master chef sekalipun.

Diantara masakan kesukaanku, rica-rica ayam dan ikan asin saus tomat yang selalu menjadi primadona setiap kali saya pulang kerumah. Makanan yang menurut orang lain sederhana, namun bagi keluarga kami itu merupakan sesuatu yang istimewa karena tidak selalu dimasak setiap hari. Dan mungkin hanya dimasak sewaktu saya pulang ke rumah.

Walaupun hanya lewat momen-momen kecil seperti lewat masakan diatas, justru membuat cinta saya kepada ummi semakin tumbuh subur. Ditambah suasana keluarga yang begitu hangat membuat saya terlen kalau liburan juga pasti ada akhirnya. Dan pada akhirnya memaksa untuk kembali ke perantauan. Momen-momen itu merupakan bagian dari sebuah tindakan kecil yang menurut saya sangat efektif. Sebuah momen untuk menyemai cinta kembali dan menumbuhsuburkan cinta yang sudah ada. Ditambah prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh keluarga yang begitu mendalam lewat didikan agama membuat cinta di dalam dada ini terus tumbuh subur.

Begitu banyak momen-momen yang kami lakukan sewaktu liburan tiba. Walaupun kami bukan termasuk orang kaya yang selalu menghabiskan untuk liburan jalan-jalan ke suatu tempat. Namun, lewat bercengkrama bersama keluarga di ruang keluarga saat hujan turunpun sudah begitu luar biasa efeknya mengobati kerinduan itu. Apalagi jika selalu diberi kesempatan untuk selalu dekat dengan ummi.

Pun kalau waktu itu tiba, Cinta ini akan dan selalu tumbuh subur walau harus terpisah jarak dan waktu. Akan dan tetap selalu subur walau desakan masalah dan ekonomi selalu menghimpit raga ini. Dalam setiap kesempatan ummi selalu mengatakan doa untuk anaknya akan dan selalu mengalir dengan tulus. Kasih sayang dan doa yang pada akhirnya membuat saya meraih cita-cita pertamaku. Lulus dari perguruan tinggi bonafit di Jakarta

Doa yang samapun selalu terpancar tulus untuk ummi dari anaknya ini. Kata-kata yang selalu terucap dalam setiap rintihan doaku, “Ummi, ana uhibbuki fillah, semoga beliau selalu dalam lindunganNya. Aamiin.”

happy graduation2

 Tulisan ini diikutsertakan untuk GA dalam rangka launching blog My Give Away Niken Kusumowardhani,

Image

6 responses

  1. Menempatkan cinta pada kata kerja, bukan kata benda, membuat kita aktif memberikan cinta.
    Saya sependapat mengenai cinta dapat disemai melalui masakan. Itupun saya rasakan pada keluarga saya.

    Terima kasih partisipasinya, tercatat sebagai peserta.

    Oh ya, selamat ya untuk wisudanya.

    1. Terima kasih ibu niken,

      terima kasih juga sudah berkenan komen di blog saya 😀
      Semoga kita selalu menyemai cinta dimanapun kita berada untuk orang-orang yang kita sayangi.

  2. Sangat setuju jika cinta bukan kata benda, karena cinta sifatnya dinamis bisa berubah dalam hitungan detik. Setiap seorang selalu berbeda mendefinisikan cinta. Kalau saya pribadi cinta bisa dirasakan tapi sulit di diskripsikan. tidak beda dengan kata manis atau asin bisa dirasakan tapi sulit di jelaskan

    1. Pun begitu dengan orang-orang yang mencoba mendeskripsikan makna cinta. setiap kata yang dipakai mungkin belum cukup untuk mencover makna cinta yang sesungguhnya.

      anyway, thanks mas insan sudah berkenan mampir 😀

  3. datang berkunjung…

    anak rantau, kemana saja mereka pergi, rumah adalah tempat terindah yang akan selalu dirindukan dan termpat terbaik untuk pulang….

    1. Setuju sekali mas ridwan,
      “Home Sweet Home”

      terimakasih sudah berkunjung,

Leave a comment